Hari Raya, Pak

Jumat, 10 September 2010

Presiden Republik Indonesia, di hari raya Idul Fitri ini, membuat acara 'Open House' di istana negara. Konon menurut kicauan para burung yang belakangan ramai di Twitter, rakyat yang datang akan mendapatkan kue-kue dan uang sebesar 100 ribu rupiah. Rakyat pun hiruk pikuk menyerbu istana, dengan dalih bertemu presiden, dengan harapan mendapat uang (mungkin). Tidak tahu bagaimana mekanisme penerimaan tamu disana, tetapi singkat cerita acara itu memakan korban nyawa. Seorang tunanetra dari Garut meninggal dunia karena berdesak-desakan.

Saya terenyak menonton berita tentang hal ini. Di tengah kegembiraan saya menyantap lontong medan yang cuma disajikan saat Lebaran, saya menyadari ada duka dalam di luar sana. Duka itu juga bukan sekedar duka, media telah menjadikannya sebuah masalah besar bagi negara, saya sendiri membenarkan sikap media. Betapa tidak! teringat saya akan kejadian serupa, terus terulang setiap tahunnya -- pembagian sembako rusuh, penyaluran zakat ribut, bagi-bagi sedekah pun jadi seperti melempar makanan ke kandang babi, berebut-rusuh-ada yang mati. Ini potret bangsa ini, negeri ini.
Seorang buta, terinjak-injak, mati.
Seorang buta, terinjak-injak, mati.

Seorang buta, lapar, miskin, menanti pemimpin, mencari pemimpin, tapi terinjak-injak, lalu mati.

Hari ini Hari Raya, hai Pak Presiden


terinspirasi dari omongan  babe gue

Idul Fitri 1431 H

MINAL AIDIN WAL FAIDZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

tulis

Selasa, 17 Agustus 2010

ide yang hanya keluar setetes-setetes di kepala ini sebenarnya tidak sebanding dengan keinginan menulis yang begitu membuncah, terutama untuk saat ini.
tak ada hal spesifik yang benar-benar saya ingin sampaikan kepada para pembaca budiman (yang mungkin sebenarnya tidak ada). tapi itu bukan masalah, tidak dibaca orang lain pun saya berniat tetap menulis.

entah saya terlambat menyadari, entah terlalu cepat melupakan, tetapi saya saat ini benar-benar merasakan enaknya menulis tanpa request. di blog ini, yang isinya gak lebih dari ocehan kaleng kosong, saya merasa lebih bebas menulis. apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan, apa yang saya simpulkan tertuang begitu saja dalam rangkaian kata yang gak indah-indah amat. saya bisa menjelaskan panjaaaang lebar, atau malah begitu pendek, semua terserah saya. saya bisa begitu bodohnya mengomentari kantung pup berbentuk hati pada salah satu jenis popok impor, atau bisa dengan begitu seriusnya menjelaskan tentang cacing  yang nempel setelah kawin. suka suka saya

teringat, saya menulis postingan ini pukul 1 malam setelah saya penat mengerjakan tugas essay untuk keperluan orientasi fakultas. saya muak setengah mampus mengerjakan esay-esay dengan tema tertentu yang harus mencapai sekian ratus kata. akibatnya saya malah nulis muter-muter gak ada juntrungannya. dan untuk mengulangi kalimat-kalimat yang saya tulis sendiri pun tidak sudi rasanya.

memang sih itu berguna, untuk latihan menulis yang baik dan benar. tapi kalau hati sudah menolak? saya ini bisa apa?

teringat pula sepenggal kalimat dari novelis favorit saya "tulis, tulis,yang penting tulis, suatu saat akan berguna". paling tidak kata-kata itu jadi sedikit menghibur saya : entah itu essay bertema berat tapi bikin saya eneg, atau blog yang bodoh tapi bikin saya senang, semuanya pasti berguna.

Catatan awal kuliah

Minggu, 15 Agustus 2010

hari-hari pertama di universitas Indonesia sontak menyadarkan saya tentang pluralisme di negeri ini. biasanya sih saya hanya mendengar dari moncong orang-orang di tivi, tapi sekarang saya lihat sendiri. terkaget-kaget pula saya dengan kemampuan mereka-mereka yang datang dari daerah. suatu hari, saat latihan paduan suara di balairung UI, dipanggillah putera-puteri Ambon untuk maju ke atas podium.
majulah mereka semua dengan kulit dan rambut kebanggaan mereka. "jurusan apa kamu?," tanya yang pegang microphone. "sastra indonesia untuk sastra jawa pak," jawab salah satu putera setelah mike disodorkan ke mulutnya. riuh rendah para penonton menyoraki jawaban si Ambon. mulut saya sendiri menganga (memang sering seperti itu).
"kenapa milihnya sastra jawa?, wong kamu Ambon kok"
"karena saya cinta negeri pak"
dengan sadar, saya tutup mulut saya yang menganga.. takjub

Pekan pertama saya, yang hanya diisi dengan latian paduan suara tak bermakna itu, penuh dengan lelucon sebenarnya. pernah dari tempat saya duduk, saya melihat salah seorang anak laki-laki di bagian suara tenor. dia botak, berkacamata, dan dari matanya jelas sekali dia itu cina-- tidak menarik. tetapi kemudian dia mencoba bernyanyi, dan gayanya sungguh aduhai, mengalahkan penghayatan dan aksi panggung seorang Afgan! ada pula pengalaman saat tes kesehatan, jauh hari sebelum latian paduan suara dimulai, saya berbaris  di trotoar dan di sebelah saya berdiri seorang cowo cina berpakaian necis ibukota. "mba, bisa tukeran posisi?", tanyanya kepada saya. saya pun mengangguk dan membiarkan dia pindah ke dekat jalanan. tak berapa lama...
"kowe dimana? aku wes disini toh. liat aku ndak? iyo ini aku lagi ngantri ini tes kesehatan to", logat jawa terucap sembari tangan melambai-lambai ke arah teman di kejauhan.
hidung saya pun melebar menahan tawa.

Latian paduan suara berakhir dan saya beserta MABA UI lainnya disambut oleh OBM (orientasi belajar mahasiswa). kembali saya tercengang oleh manusia-manusia di kelas OBM saya : pinter-pinter amaaat... ada yang begitu pandai berbicara, ada yang tidak begitu pandai tapi tetap berani berbicara, ada yang terlihat begitu nerd tapi ternyata kocak..

banyak hal saya liat dan membuat saya tercengang. sebenarnya itu bukan hal yang aneh, yang aneh ya saya ini. kok bisa-bisanya selama 10 tahun hanya melihat cinere pondok labu.. HAHAHAHA

Sukses Instan

Rabu, 23 Juni 2010

Di dunia modern ini apa sih yang lama? hampir ga ada. Mulai dari mie rebus, sampe buat KTP juga sekarang cepet. Sama halnya dengan menanak nasi, jaman bakhelak itu adalah hal yang sulit, butuh keahlian tinggi, dan memakan waktu, tetapi nasi yang dihasilkan lebih banyak yang dibuang karena banyak keraknya. Bandingkan dengan jaman sekarang, ada teknologi untuk menanak sekaligus memasak nasi, orang-orang nyebutnya Rice Cooker (gak beda arti sama 'penanak nasi' sebenarnya, hanya karena berbahasa Inggris jadi sebutannya menjadi lebih modern dan trendy di mata orang-orang). Nah, dengan alat ini nih, nasi gampang mateng, enak, pulen, dan bisa dimakan hingga tetes terakhir karena tidak ada keraknya, sungguh berguna alat ini.

Gak cuma Rice cooker, hampir semua sekarang jadi mudah dilakukan. sampai-sampai sukses pun bisa jadi mudah, semudah merebus mi instan. hal ini saya sadari ketika minggu ini, secara tak sengaja, saya melihat dua buah metode, yang pertama adalah metode untuk mengaktifkan otak tengah yang dipercaya mampu meningkatkan daya belajar, kecerdasan, logika, dan ujung-ujungnya mengarah ke kesuksesan, yang kedua adalah tawaran sebuah sekolah film  dari seseorang filmmaker luar negeri entah siapa namanya yang konon katanya, nih sekolah film lah yang membuat quentin tarantino menjadi filmmaker kondang nan sukses. Dari kedua metode ini ada dua kesamaan, sama-sama ditempuh hanya dalam DUA HARI, dan sama-sama dikenakan biaya lima juta rupiah.

DUA HARI.
"buat apa menghabiskan 4 tahun di akademi film jika dalam dua hari anda bisa sukses menjadi sutradara, produser, atau penulis naskah?"
barusan itu tagline si sekolah film.
"aktifkan otak tengah anda dalam dua hari dan rasakan manfaatnya seumur hidup"
yang ini tagline si otak tengah.

Sebenernya sih ga ada yang salah dengan dua hari, tapi itu terlalu cepat rasanya. Bahkan jika ingin dibandingkan dengan kepercayaan tertentu, Tuhan saja menciptakan dunia ini dalam enam hari, terus kok bisa-bisanya kita dijamin sukses dalam dua hari? Separah apapun juga jadwal dibuat tetap saja judulnya hanya dua hari. jika dihitung lebih jauh, dua hari itu 48 jam, sedang kegiatan paling parah dimulai jam 8 berakhir jam 5 dengan istirahat 1 jam, berarti 8 jam efektif dalam 1 hari, 16 jam total dalam dua hari. itu pun belum termasuk waktu yang tak sengaja diisi dengan bengong di kelas, atau izin ke kamar kecil karena mules-mules, atau ngangkat telepon dari nenek di kampung, atau hilang konsentrasi gara-gara ngeliatin pembawa materi yang rupanya seorang pria tampan nan modis (dan lupa akan kemungkinan bahwa pria itu gay). Terlalu kilat dan instan.

Perlu kita ingat-ingat lagi bahwa yang instan itu tidak baik. Tau mie instan? tau dong, sangat  terbelakang jika tidak tau. Mie instan itu enak dan gurih, tetapi jika terlalu doyan dengan makanan ini akan menimbulkan efek-efek berbahaya seperti terganggunya sistem pencernaan, terutama lambung. MSG berlebihan dari bumbu mie akan melukai lambung anda (Maaf ini tidak akurat, saya hanya mengira-ngira). Belum lagi efek lain seperti kurang gizi, badan kurus kering, dan keterbelakangan otak. Bahkan, salah seorang senior saya dulu di SD meninggal karena mengonsumsi mie instan secara berlebihan dan tanpa pengawasan. Kembali ke topik mengenai kesuksesan, yang instan juga lebih banyak mudarat daripada manfaat. butuh bukti? coba ingat lagi tentang Akademi Fantasi Indosiar yang merubah nasib seorang Fery anak Medan secara instan-- mendadak selebritis. pada waktu itu Fery jadi obrolan publik, semua orang tampaknya tau, tapi sekarang? batang hidung hilang, bahkan bau kentutnya pun tak ada (kalau ada mungkin malah jadi bahan hujatan). Sumber lain malah menyebutkan, finalis-finalis AFI sekarang hidup terbelit hutang akibat ngirim SMS dukungan hingga biayanya mencapai ratusan juta. apanya yang sukses?

Oke pembicaraan melenceng jauh jadi lebih baik kembali pada dua metode yang tadi. aktivasi otak tengah mungkin memang bisa mencerdaskan otak, tapi otak bukan jaminan kesuksesan. terlalu pintar dan kurang pergaulan contohnya, malah menghancurkan hidup. bahkan jika seorang ayah memaksa anaknya ikut metode itu pun, yang ada hanyalah usaha sia-sia jika si anak tidak punya motivasi. beralih ke sekolah film kilat (macem pesantren kilat), dua hari otak dikejutkan dengan permasalahan film, mulai dari mikirin ide sampe distribusiin film. dua hari kelar. hari ketiga langsung jadi sutradara, ngambil novel Edensor dan langsung nulis script berdasarkan novel itu, mau ngalah-ngalahin Riri Rija mungkin. Belom apa-apa langsung berasa hebat dan populer. ini berbahaya, seperti kata om Alex yang kurang lebih seperti ini 'yang berbahaya adalah terbentuknya mental-mental selebritis di kalangan para pemula di bidang film'. siapa itu om Alex, kapan-kapan dijelaskan, nanti bisa melenceng lebih jauh. iming-iming kesuksesan mampu membawa pemula naik ke atas awan kinton, belum apa-apa sudah berasa sukses, padahal masih jauh.

Benda apa mungkin boleh dibuat instan, tapi kalo kesuksesan instan itu cuma mukjizat, hanya sebagian kecil orang yang mendapatkannya, jadi jangan terlalu berharap. lagipula, sesuatu yang lebih berkelit-kelit untuk dicapai memberikan kepuasan yang lebih. buat saya, sukses itu tidak afdol kalau sudah dijamin lewat jalan instan, tapi kalo mendadak nasib berubah sih beda cerita. ya.. intinya sih jalanin aja semua pake semangat! yeah!

*tambahan dikit, masalah biayanya itu loh, kan lima juta buat 2 hari doang. kalau gue udah sanggup nyediain duit segitu untuk 2 hari doang mah itu namanya gue udah terbilang sukses, gimana dah -___-*

Idealis?

Sabtu, 19 Juni 2010

Idealisme, sebuah kata yang terus dielu-elukan mahasiswa-mahasiswa di seluruh dunia, khususnya Indonesia tanah tercinta.
Idealisme, sebuah konsep yang (katanya) menjadi dasar yang mutlak ada di setiap pola pikir manusia-manusia yang menyebut dirinya mahasiswa.
Idealisme, sebuah paham yang tidak saya pahami.

Idealisme n 1 aliran dl ilmu filsafat yg menganggap pikiran atau cita-cita sbg satu-satunya hal yg benar yg dapat dirasakan dan dipahami ; 2 hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna
(disadur dari Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan taun jebot)

?

tetap menyisakan tanda tanya, saya tetap tidak mengerti.

MONO-gami

Selasa, 01 Juni 2010

Cacing lahir bisa dari mana saja. Baik dari kemaluan ibu atau bapaknya, tak ada beda sebenarnya, kemaluan mereka sama tak berbentuknya. Bahkan mereka bisa lahir tanpa sengaja, ketika ekor ibu atau bapaknya mendadak tercincang-cincang alam *entah bagaimana itu caranya*, potongan ekor terlepas dan tak sengaja jadi jiwa yang baru. Kelahiran mereka tak jadi masalah dunia, beda dengan manusia yang ketika anak lahir tanpa bapak akan menghancurkan hidup si anak tadi. Entah ibu cacing beranak entah tidak, tidak jadi masalah baginya. Intinya, berkembang biak hanyalah salah satu ciri kehidupan yang tanpa sengaja terjadi bagi mereka, ibarat ngupil bagi kita para manusia *manusia mana yang tak pernah mengupil?*.

Sayangnya kebebasan berkembang biak bagi mereka tak pernah jadi jalan tol untuk menuju kebebasan dalam bercinta. Kalau kita melihat diri kita sendiri, selalu terpikir-pikir keadaan 'manusiawi', dalam artian ketidakmampuan menahan hawa nafsu birahi. "Namanya juga manusia, hehehe, manusiawi-lah..," kata-kata standar. Andaikan kita bisa memotong kaki sendiri dan membiarkan kaki itu tumbuh jadi manusia yang kembar dengan kita *mungkin akan muncul peraturan bahwa ini hanya boleh dilakukan oleh Paus untuk terus memimpin Vatikan dengan kebijakannya, misalnya*, atau andaikan laki-laki mampu melahirkan tak ubahnya perempuan, atau andaikan jiwa baru bisa langsung hidup dan mencari makan, bisa dibayangkan bercinta sama lumrahnya seperti mengupil, hanya perlu ditutup dengan tangan atau tisu tepat di bagian lubang, maka semua akan aman dan terkendali. Poligami gak perlu lagi diperbincangkan, diperdebatkan, dielu-elukan, kalau memang mau kawin ya hajar aja *satu lelaki 10 wanita juga bisa*. Tak perlu lagi kesetiaan, apalagi cinta.
Tetapi kehidupan cacing tak akan menjadi seliar itu. Ya, sebagian besar cacing memang menjadi seliar itu, tapi tidak untuk sebagian kecilnya.

Kenyataan mengatakan bahwa untuk sebuah spesies tertentu, ketika cacing mulai bercinta, tubuh mereka akan melebur jadi satu, dan tak terpisahkan selamanya. Kenyataan mengatakan bahwa, dengan meleburnya mereka, mereka tidak mungkin jadi liar dan menganggap bercinta = ngupil. Kenyataan mengatakan bahwa mereka tak mungkin berpoligami, bahkan disebut setia juga rasanya sangat tidak pas. Kenyataan mengatakan bahwa istilah paling pas untuk menggambarkan mereka adalah monogami 'sekali kawin'.

Jangan bayangkan tentang kondisi manusia yang bisa jadi seperti si cacing. Cukuplah bersyukur perdebatan poligami hanya jalan di tempat, jadi manusia masih bisa berpoligami selama ia nekat.

*tapi yang punya blog ga mau dipoligami. awas kalo nekat

cacing yang dimaksud adalah Diplozoon paradoxum. 
spesies ini menemukan pasangan hidup di waktu muda, menikah, dan terus nempel hingga tua

 

Indonesia dalam Kritik

Minggu, 30 Mei 2010

Tak terelakkan, Indonesia-ku tetap terus penuh kritikan. Kalangan apapun itu tak pernah kehabisan kata-kata, bahkan pantun, puisi, atau film untuk terus mengritik bangsa yang beragam ini. Hal ini saya sadari ketika secara tak sadar, saya pun mengritiknya. Kritik bagi saya adalah pencarian kesalahan, sebuah penghakiman lewat kata-kata, tanpa tau duduk terlebih dahulu permasalahan dan inti dari penyelesaian. Mengapa? jelas saja, toh selama ini saya tak pernah mendengar kata solusi di akhir setiap kritik. Dan terkadang pengritik ngelantur melenceng dari permasalahan. Di manapun kritik itu tertuang, apalagi kritik-kritik penuh emosi dan gairah menggelora di media-media, tak pernah ada titik terang pendingin masalah. Bahkan kritik yang saya lontarkan ketika itu pun, hanya mempertanyakan solusi dan menyesali kondisi. Ataukah memang kritik harus begitu?

Kritik saya petang ini dimulai dari sebuah kenyataan tentang maraknya kebocoran UN. Pemerintah menjanjikan kejujuran dalam pelaksanaan, namun bagi saya itu hanya kata-kata penyejuk diri, bukan fakta. Bocoran kunci jawaban berkeliaran dimana-mana, memancing saya untuk mengritik kondisi negeri ini. Saya katakan itu adalah kebodohan, kesalahan pemerintah, kesalahan menteri, dan sebagainya dan sebagainya. Saya katakan UN adalah sarana ketidakadilan, meresahkan para pelajar, menjatuhkan mental, dan sebagainya dan sebagainya. Saya cari artikel-artikel, thread-thread di kaskus, dan di blog-blog untuk mendukung pikiran saya. Banyak sekali yang sependapat dengan saya, tapi tak jarang juga yang sangat bertentangan.

Sedikit emosi masa muda bercampur dalam benak saya jika melihat pendapat lain di luar pemikiran saya muncul ke permukaan. Pendapat yang mengatakan bahwa UN lebih baik tidak ada itu hanyalah wujud mental-mental pengecut pelajar jaman sekaranglah yang membuat saya lebih mendidih, walau tak sampai menguap. Saya diskusikan hal ini dengan teman saya. Selama berbincang, emosi mulai turun mereda dan digantikan oleh sesuatu yang menyadarkan saya, kebingungan. Entah apa maksud diri ini mengritik fakta-fakta pendidikan, toh pada akhir diskusi saya tetap tak tau apa yang harus diperbuat. Saya kembali pada kalimat-kalimat penyelamat diri 'Toh saya masih belajar, itu bukan urusan saya' atau 'Biarkan sang pemangku kekuasaan saja yang membenahi negeri ini'. Tapi rasa bersalah pun muncul, betapa bodohnya saya, yang dengan gampangnya mengritik, tapi tak mampu memberi solusi. Ataukah memang begitu seharusnya?

Diskusi pun terus berlangsung. Teman berdiskusi saya memberi saya sebuah artikel yang dibuat oleh pemerhati pendidikan, sering dipanggiln ayah Edy. Tampaknya Ayah Edy ini memiliki sebuah lembaga pendidikan setara sekolah, dinamai 'Sekolah Alam'. Terlihat di artikel itu komentar-komentar dari para orang tua yang senang dengan keberadaan Sekolah Alam. Apapun itu, tidak jadi topik utama dalam tulisan ini, yang jadi perhatian saya adalah artikel yang dia tulis-- Kesalahan Fundamental Pendidikan. Artikel tersebut menyebutkan beberapa poin yang menjadi kesalahan besar pendidikan di seluruh dunia ini. Beberapa poin  saya garis bawahi  karena sesuai dengan tema diskusi UN saya..

Pendidikan tanpa mementingkan proses

Pendidikan dengan metode seragam-sama

Dua poin tersebut mendapat atensi lebih bagi benak saya, begitu juga dengan teman diskusi saya. Alasan singkat, jelas saja, murid belajar 3 tahun di SMA, dan penentuan akan kelulusan hanya ditentukan oleh 5 hari ujian nasional. Dan untuk poin kedua, UN menyamaratakan kemampuan untuk diuji, yang jelas-jelas tidak sama. Pendidikan yang tidak merata menuai kontroversi dalam pelaksanaan UN. Diskusi saya terus berlanjut. Mendalam dan lebih mendalam. Tapi kembali kami ke titik awal:

Kritik.
Dengan tanya.
Tanpa penawar masalah.

Teringat saya akan film terakhir yang saya produksi, Facebooked. Isinya tak jauh dari kritik. Dan lagi-lagi hanya sebuah kritik. Hanya kritik.

Apakah kritik telah jadi budaya? orang-orang berlomba untuk bisa mencari sisi lemah dan itu menjadi kebanggan. Begitu senangnya manusia pribumi ini untuk menampar para pemangku kekuasaan, sayangnya yang ditampar tak pernah merasakan sakitnya. Terpikir oleh saya sebuah keadaan ideal, dimana orang-orang berebut memberi solusi, bukan memberi kritik. Bermimpilah saya ketika kritik benar-benar jadi pembangun negeri, tidak sekedar tontonan asyik di media.

Kapan negeri ini bebas dari kritik seperti itu?

Note:
Bahkan tulisan saya berisi kritik penuh tanya. Entah lugu entah naif saya menulis ini.



sweet dreamy night

Kamis, 27 Mei 2010

everyone has his or her own dream. and so am i. actually, i have just found what my dream is. i have no idea about what's the real thing i really want in this world before these few days. but thank God, i finally found it

it doesn't really urgent to tell what my dream is in this blog, you can ask me sometimes. the thing i really want to know is how can i reach that dream. FYI, when i write this thing, i have just graduated from high school. and i'm in a really big confused. it's not about which universities i should enter or what major i should take, i've already got that one : University of Indonesia, Mathematics major. the problem is that my dream is not related at all with that stuff called mathematics. but no, no.. i'm not regreting that maths. i love it *don't call me a freak*.  i just wondering how could i achieve my dream if i got stuck in this major. how could i success in that dreamy ways if i had to full my mind with mathematics. how could i?

i dont know

but there's still hope in my mind, that i sure can reach that dream, no matter which way i should take to go there. i can't kill this this new born dream. i'll let it grow to make me stronger, and surely make my world brighter.

Departemen Matematika Universitas Indonesia

after studying very very hard in a last few months, finally..