Hari Raya, Pak

Jumat, 10 September 2010

Presiden Republik Indonesia, di hari raya Idul Fitri ini, membuat acara 'Open House' di istana negara. Konon menurut kicauan para burung yang belakangan ramai di Twitter, rakyat yang datang akan mendapatkan kue-kue dan uang sebesar 100 ribu rupiah. Rakyat pun hiruk pikuk menyerbu istana, dengan dalih bertemu presiden, dengan harapan mendapat uang (mungkin). Tidak tahu bagaimana mekanisme penerimaan tamu disana, tetapi singkat cerita acara itu memakan korban nyawa. Seorang tunanetra dari Garut meninggal dunia karena berdesak-desakan.

Saya terenyak menonton berita tentang hal ini. Di tengah kegembiraan saya menyantap lontong medan yang cuma disajikan saat Lebaran, saya menyadari ada duka dalam di luar sana. Duka itu juga bukan sekedar duka, media telah menjadikannya sebuah masalah besar bagi negara, saya sendiri membenarkan sikap media. Betapa tidak! teringat saya akan kejadian serupa, terus terulang setiap tahunnya -- pembagian sembako rusuh, penyaluran zakat ribut, bagi-bagi sedekah pun jadi seperti melempar makanan ke kandang babi, berebut-rusuh-ada yang mati. Ini potret bangsa ini, negeri ini.
Seorang buta, terinjak-injak, mati.
Seorang buta, terinjak-injak, mati.

Seorang buta, lapar, miskin, menanti pemimpin, mencari pemimpin, tapi terinjak-injak, lalu mati.

Hari ini Hari Raya, hai Pak Presiden


terinspirasi dari omongan  babe gue

Idul Fitri 1431 H

MINAL AIDIN WAL FAIDZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN