Fiksi

Rabu, 03 Agustus 2011

Kamu memang punya cita-cita. Tapi pernah ga sih, dalam hidupmu, kamu bertanya kamu akan jalanin hidup seperti apa?

Karena kenyataannya, gaya hidup dari apa yang kamu cita-citakan itu seringnya bertolak belakang dengan mau kamu. Atau mungkin, kamu punya kemauan akan hidup mana yang akan kamu tempuh, tapi kemauan kamu itu tidak kuat. Banyak godaan, halangan. Hidup itu memang tidak mulus dan tidak tanpa hambatan. Percayalah, tanpa hambatan itu hanyalah rekaan soal-soal fisika SMA, tidak pernah menjadi nyata.

Sering pula, keinginan untuk menjalani hidup seperti ‘ini’ atau seperti ‘itu’ mengalahkan niatan awal kamu untuk mencapai cita-cita. Perlu digarisbawahi pula bahwa hasil yang ingin dicapai dan apa yang ingin dicapai itu dua hal yang berbeda. Namun, dua hal itu tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa ditentukan mana yang lebih prioritas. Kamu mau berkuasa atau mau jadi politisi? Kamu mau jadi kaya atau jadi businessman? Kamu mau jadi golongan selebritas atau mau jadi sutradara?

Banyak contoh kok di sekitar kita. Kamu mahasiswa tingkat-tingkat awal yang berkoar-koar tentang busuknya politisi dan selalu ingin menggantikan posisi si politisi itu. Idealisme berkata bahwa kamu akan jadi lebih baik. Tetapi, sekali lagi, hasil yang dicapai dan apa yang dicapai itu dua hal yang berbeda. Orang menjadi rusak, hancur, hilang, bukan karena apa yang ia cita-citakan, tapi karena apa konsekuensi dari cita-citanya—apa  hasil dari cita-citanya. Kamu memang jadi politisi. Tapi kamu hidup dalam konspirasi uang suap. Kamu bercita-cita jadi seniman, tapi hasil yang kamu dapat adalah hidup dalam glamoritas selebritas. Masih berlakukah cita-cita kamu itu? Banyak contoh kok di sekitar kita.

Cita-cita, mimpi, idealisme, semua itu fiksi. Karena ia fiksi, maka ia tidak kuat dan selamanya hanya dianggap bualan. Adalah kewajiban kamu untuk merubahnya menjadi fakta. Tetapi kenyataannya, fakta itu lebih fiksi daripada fiksi. Maka bersiaplah terombang-ambing dalam menjalani fakta yang rapuh. Dan di tengah ke-terombang-ambing-an kamu, ingatlah fase fiksimu, karena ia lebih kuat walau tak ada yang kuat sempurna.

Fiksi itu apa yang kamu mau
Fakta itu hasil yang kamu dapat

PERAWAN

Sabtu, 11 Juni 2011

Berawal dari tweet seorang teman *ehem, sekarang seorang Cicha Siagian sudah twitteran  teman-teman! Ini sudah 2011 soalnya -___-*

Seorang teman ngetweet ‘ya ampun perawan jam segini baru bangun?? Hoam’ . pertanyaan yang muncul adalah : apa hubungannya bangun siang dengan perawan?
Secara ilmiah, telah gue teliti makna dari perawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 1988 (mohon kemaklumannya atas ketertinggalan edisi selama 23 tahun), perawan adalah
1. anak perempuan yang sudah patut kawin; anak dara; gadis;
2. perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki; masih murni (tentang anak perempuan)
3. ki belum digarap (diusik-usik tentang hutan, daerah, dsb).

Dari tiga definisi ‘perawan’, gue mengeliminasi yang ketiga, karena Out of Topic. Mari mulai menelaah dari definisi nomor satu—anak perempuan yang sudah patut kawin; anak dara; gadis. Apakah tidak boleh seorang anak yang sudah patut kawin untuk bangun siang? Gue rasa sah-sah aja. Kecuali, dia harus bangun pagi karena mau kerja, mau sekolah, atau mau cari jodoh. Lalu kalau ternyata tiap hari bangun siang? itu juga kelewat males namanya.  tapi tetep aja: ga ada hubungannya dengan perawan

Selanjutnya, mengenai poin nomer dua—perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki; masih murni—lebih ga masuk akal. Secara ilmiah pula, mungkin kita bisa menaruh sedikit hipotesis bahwa: mungkin (kebanyakan kata mungkin) saja perempuan yang sudah kawin sedikit dimaklumi keterlambatannya dalam hal bangun pagi, karena di malam sebelumnya, yang bersangkutan mungkin sedang melakukan kegiatan primitif bersama pasangan. tapi, tetep aja, itu ga ada hubungannya dengan ‘perawan ga boleh bangun siang’ . toh ‘bangun siang’ tidak mengimplikasikan ‘kegiatan primitif manusia’. Sebaliknya kegiatan primitif juga gak mengimplikasikan bangun siang—yang tadi gue sebut kan cuma hipotesis doang.

Jadi, apa dong?! Kenapa orang jadul selalu mengkait-kaitkan perawan dengan kebiasaan-kebiasaan baik dan rajin? Gue rasa hal itu akan terjawab kalau saja terbit sebuah buku ensiklopedi ‘PerJadulan di Mata Anak Muda Jaman Modern’.

Sayangnya, buku itu ga ada