Tak terelakkan, Indonesia-ku tetap terus penuh kritikan. Kalangan apapun itu tak pernah kehabisan kata-kata, bahkan pantun, puisi, atau film untuk terus mengritik bangsa yang beragam ini. Hal ini saya sadari ketika secara tak sadar, saya pun mengritiknya. Kritik bagi saya adalah pencarian kesalahan, sebuah penghakiman lewat kata-kata, tanpa tau duduk terlebih dahulu permasalahan dan inti dari penyelesaian. Mengapa? jelas saja, toh selama ini saya tak pernah mendengar kata solusi di akhir setiap kritik. Dan terkadang pengritik ngelantur melenceng dari permasalahan. Di manapun kritik itu tertuang, apalagi kritik-kritik penuh emosi dan gairah menggelora di media-media, tak pernah ada titik terang pendingin masalah. Bahkan kritik yang saya lontarkan ketika itu pun, hanya mempertanyakan solusi dan menyesali kondisi. Ataukah memang kritik harus begitu?
Kritik saya petang ini dimulai dari sebuah kenyataan tentang maraknya kebocoran UN. Pemerintah menjanjikan kejujuran dalam pelaksanaan, namun bagi saya itu hanya kata-kata penyejuk diri, bukan fakta. Bocoran kunci jawaban berkeliaran dimana-mana, memancing saya untuk mengritik kondisi negeri ini. Saya katakan itu adalah kebodohan, kesalahan pemerintah, kesalahan menteri, dan sebagainya dan sebagainya. Saya katakan UN adalah sarana ketidakadilan, meresahkan para pelajar, menjatuhkan mental, dan sebagainya dan sebagainya. Saya cari artikel-artikel, thread-thread di kaskus, dan di blog-blog untuk mendukung pikiran saya. Banyak sekali yang sependapat dengan saya, tapi tak jarang juga yang sangat bertentangan.
Sedikit emosi masa muda bercampur dalam benak saya jika melihat pendapat lain di luar pemikiran saya muncul ke permukaan. Pendapat yang mengatakan bahwa UN lebih baik tidak ada itu hanyalah wujud mental-mental pengecut pelajar jaman sekaranglah yang membuat saya lebih mendidih, walau tak sampai menguap. Saya diskusikan hal ini dengan teman saya. Selama berbincang, emosi mulai turun mereda dan digantikan oleh sesuatu yang menyadarkan saya, kebingungan. Entah apa maksud diri ini mengritik fakta-fakta pendidikan, toh pada akhir diskusi saya tetap tak tau apa yang harus diperbuat. Saya kembali pada kalimat-kalimat penyelamat diri 'Toh saya masih belajar, itu bukan urusan saya' atau 'Biarkan sang pemangku kekuasaan saja yang membenahi negeri ini'. Tapi rasa bersalah pun muncul, betapa bodohnya saya, yang dengan gampangnya mengritik, tapi tak mampu memberi solusi. Ataukah memang begitu seharusnya?
Diskusi pun terus berlangsung. Teman berdiskusi saya memberi saya sebuah artikel yang dibuat oleh pemerhati pendidikan, sering dipanggiln ayah Edy. Tampaknya Ayah Edy ini memiliki sebuah lembaga pendidikan setara sekolah, dinamai 'Sekolah Alam'. Terlihat di artikel itu komentar-komentar dari para orang tua yang senang dengan keberadaan Sekolah Alam. Apapun itu, tidak jadi topik utama dalam tulisan ini, yang jadi perhatian saya adalah artikel yang dia tulis-- Kesalahan Fundamental Pendidikan. Artikel tersebut menyebutkan beberapa poin yang menjadi kesalahan besar pendidikan di seluruh dunia ini. Beberapa poin saya garis bawahi karena sesuai dengan tema diskusi UN saya..
Pendidikan tanpa mementingkan proses
Pendidikan dengan metode seragam-sama
Dua poin tersebut mendapat atensi lebih bagi benak saya, begitu juga dengan teman diskusi saya. Alasan singkat, jelas saja, murid belajar 3 tahun di SMA, dan penentuan akan kelulusan hanya ditentukan oleh 5 hari ujian nasional. Dan untuk poin kedua, UN menyamaratakan kemampuan untuk diuji, yang jelas-jelas tidak sama. Pendidikan yang tidak merata menuai kontroversi dalam pelaksanaan UN. Diskusi saya terus berlanjut. Mendalam dan lebih mendalam. Tapi kembali kami ke titik awal:
Kritik.
Dengan tanya.
Tanpa penawar masalah.
Teringat saya akan film terakhir yang saya produksi, Facebooked. Isinya tak jauh dari kritik. Dan lagi-lagi hanya sebuah kritik. Hanya kritik.
Apakah kritik telah jadi budaya? orang-orang berlomba untuk bisa mencari sisi lemah dan itu menjadi kebanggan. Begitu senangnya manusia pribumi ini untuk menampar para pemangku kekuasaan, sayangnya yang ditampar tak pernah merasakan sakitnya. Terpikir oleh saya sebuah keadaan ideal, dimana orang-orang berebut memberi solusi, bukan memberi kritik. Bermimpilah saya ketika kritik benar-benar jadi pembangun negeri, tidak sekedar tontonan asyik di media.
Kapan negeri ini bebas dari kritik seperti itu?
Note:
Bahkan tulisan saya berisi kritik penuh tanya. Entah lugu entah naif saya menulis ini.